Laman

7 Sep 2011

MENGAPA KITA TAK MEMBUKA MATA?





Alma Adventa yang menyebut diri “seorang Dayak di perantauan”, seorang sarjana pertambangan, sekalipun tinggal di mancanegara, tapi perhatiannya terhadap kampung-halaman tidak surut. Berikut adalah komentarnya terhadap tulisan saya berjudul “Yang Dikuak Oleh Rencana Kereta Api Ke Kaltim”(Harian Kalteng Pos,9-11 Agustus 2011).

Guna mengikuti alur  pikiran Alma Adventa, komentar yang ia kirimkan langsung ke alamat surat listrik (sulis atau e-mail) saya,  barangkali berguna untuk pertimbangan orang sekampung, maka di sini komentar tersebut  saya kutip: 

“Terima kasih untuk tulisan Bapak Kusni Sulang yang selalu mengajak kita melihat dan berpikir "beyond the text". Seandainya berkenan, saya juga ingin mengajak kita semua melihat lebih jauh lagi tentang rencana pembangunan rel kereta api batubara di Kalteng maupun yang sudah berjalan di Kaltim. Ada beberapa jalur yang direncanakan baik dalam provinsi maupun lintas provinsi dan semakin intensif dibicarakan terutama sejak masuk dalam program MP3EI untuk koridor Kalimantan .

Saya tidak melihat sama sekali ada rencana yang sistematis (blue print) lebih dari rencana pembangunan rel batubara dan pabrik peleburan, yang merencanakan pemanfaatan SDA ini untuk pembangunan daerah asal SDA. Melulu yang dibahas adalah dari hulu ke hilir, namun bagaimana dengan dari hilir ke hulu atau antar daerah regional?

Rel KA ataupun bentuk tranportasi lain antar kabupaten dan provinsi sangat diperlukan di Kalimantan untuk mengurangi tingginya harga barang dan kebutuhan pokok.

Menurut saya pembangunan rel batubara ini tidak sebatas pembagian pajak pusat dan antar provinsi atau proyek-proyek konstruksi namun yang lebih mendasar adalah pola eksploitasi SDA yang mengekstraksi SDA di pedalaman untuk membangun daerah luar. Sangat menyedihkan melihat yang dibicarakan selalu berfokus pada bagaimana memfasilitasi pengangkutan SDA dari pedalaman keluar pulau, bukan pada pengembangan ekonomi dan industri lokal. Untuk pembangunan rel batubara di Kalteng (Palaci/Puruk Cahu-Bangkuang) saya sudah pernah kirim ke milis ini (adatlist, milis resmi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara –AMAN –KS) tulisan saya berjudul The Open Veins of Borneo. Beberapa investor yang tertarik tidak lain adalah investor yang memprioritaskan keamanan suplai batubara (thermal maupun cooking coals) untuk kebutuhan domestik dan industri dalam negeri mereka. Ada baiknya Kaltim dan Kalteng bisa bersama-sama mengevaluasi kembali, sehingga tidak salah langkah”. (Alma Adventa aadventa@yahoo.com,to: "meldiwa, Monday, 8 August 2011 19:19:48).”


Tujuan komentar Alma , jelas,  yaitu ingin sumbang-urun pendapat terhadap apa yang terjadi dan dilakukan di kampung-halaman dalam upaya “bersama-sama mengevaluasi kembali, sehingga tidak salah langkah”. Sebab Kalteng adalah kampung-halaman bersama, bukan hanya milik mereka yang kebetulan sedang mengendalikan pengelolaan kekuasaan. Baik-buruk kebijakan yang dipilih, dampaknya akan menimpa dan dirasakan langsug oleh orang sluruh kampung. Karena itu adalah suatu kesalahan besar perbedaan pendapat dihadapi dengan pemberian topi secara sembrono. Sikap demikian, selain bukan sikap negarawan, tetapi juga sikap anti nalar dan membelakangi wacana republikan dan berkeindonesiaan serta kemajemukan. Apalagi jika ditambah dengan ancaman yang berbau pendekatan kekuasaan, pendekatan keamanan dan stabilitas nasional ala Orba dulu, model jaladi mantry ala Majapahit.   Cepat atau lambat, sikap anti nalar dan metode jaladi mantry, akan menjatuhkan diginitas politisi itu sendiri dan seperti ditunjukkan oleh R.Kennedy, politikolog Amerika Serikat, bahkan kekuasaan itu sendiri akan runtuh. Disebut  politisi karena negarawan tidak pernah akan berbuat seperti itu.  Negarawan tidak seperti politisi yang sering memandang kekuasaan identik dengan kebenaran.

Dalam komentar di atas, saya melihat Alma mengangkat beberapa soal yaitu: (1). Rencana Pembangunan Rel Kereta Api. (2). Pemanfaatan SDA (Sumber Daya Alam – KS)  untuk pembangunan daerah asal SDA. (3).Tingginya harga barang dan kebutuhan pokok. (4). Pembagian pajak pusat dan daerah. (5). Pola eksploitasi SDA yang mengekstraksi SDA di pedalaman untuk membangun daerah luar.

Secara umum, mengenai rencana pembangunan rel kereta api itu sendiri, sebenarnya bukan masalah utama. Masalah muncul ketika kit bertanya: untuk apa rel kereta api itu dibangun? Apakah sekarang sudah tepat tahapannya (waktunya) dengan mempertimbangkan faktor sejarah, latar budaya  dan upaya pengembangan berkeadilan daerah masing-masing (cq. provinsi-provinsi di Kalimantan . Membangun rel kereta api hendaknya mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Tapi rencana pembangunan rel kereta api itu sekarang agaknya faktor-faktor tersebut diabaikan sehingga seperti yang dikatakan oleh Alma Adventa rencana pembangunan itu merupakan rencana tanpa blue print (cetak biru), tanpa peta rencana yang menyeluruh. Rencana yang mau dilaksanakan “berfokus pada bagaimana memfasilitasi pengangkutan SDA dari pedalaman keluar pulau, bukan pada pengembangan ekonomi dan industri lokal”, secara lebih spesifik pengangukutan batu bara (dan sekarang mungkin ditambah dengan pengangkutan produk perkebunan sawit) . Karena itu Alma menyebutnya “pembangunan rel kereta api batubara”. Barangkali juga bisa disebut Rel Kereta Api Perusahaan Besar Swasta (PBS) yang dibangun oleh pemerintah.

Jika dilihat dari model pembangunan, maka pembangunan “rel kereta api batubara“  tidak lain perwujudan dari politik pembangunan yang menjual SDA daerah kepada pemilik modal besar (baca juga : PBS). Menjadikan daerah hanya sebagai penyedia bahan mentah, tanpa melintaskan barang sejenak rencana industrialisasi agar mendapatkan nilai tambah yang lebih sehingga mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak serta meningkatkan secra berarti Pendapatan Asli Daerah (PAD). Politik pembangunan begini sekali pun dilabeli ekonomi kerakyatan, tapi senyatanya tidak lain dari politik neo-liberal yang memang politik pembangunan pilihan Jakarta . Secara konstitusional pilihan politik pembangunan neo-liberalisme bertolakbelakang dengan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan yang ditetapkan oleh Psal 33 UUD ’45. Karena itu sebagai konsekwensi logis dari pilihan politik demikian, maka soal kedua yang diajukan oleh Alma Adventa yaitu Pemanfaatan SDA  untuk pembangunan daerah asal SDA berada di luar hitungan.
Untuk memperkokoh politik pembangunan pilihan demikian maka lembaga eksekutif dan legislatif menggodok UU dan RUU yang mengakomodasi kepentingan asing. Menurut anggota DPR Eva Kusuma Sundari. yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR-RI “Setidaknya ada 76 Undang-Undang (UU) dan puluhan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengakomodir kepentingan asing”. Akibat pilihan politik pembangunan demikian sebagaimana diakui oleh Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, `rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa asing keluar’. Rencana pembangunan “rel kereta api batubara“, Rel Kereta Api Perusahaan Besar Swasta (PBS)  atau  tidak lain dari produk pilihan politik pembangunan neo-liberalisme. Apabila sepakat dengan pandangan bahwa politik merupakan cerminan terpusat segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi, maka tidak mustahil pilihan pembangunan demikian, membentuk basis ekonomi bagi sektor-sektor lain yang tidak mengizinkan program-program pro rakyat, pro poor, pro growth, pro job berlangsung sesuai harapan. Program-program seperti Kalteng Harati,Kalteng Barigas, PM2L dan lain-lain tersandung oleh pilihan politik pembangunan demikian. Pilihan politik menetapkan bersamanya metode yang digunakan. Kalteng tidak pernah bisa relatif mandiri. Karena politik pembangunan neo-liberalisme tidak menginginkan provinsi atau negeri merdeka secara politik , mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan. Barangkali itulah musababnya muncul keadaan yang dikeluhkan oleh Alma Adventa “Melulu yang dibahas adalah dari hulu ke hilir, namun bagaimana dengan dari hilir ke hulu atau antar daerah regional”, terjadi dalam yang disebut pembangunan “tanpa ada rencana sistematik”. Musabab pertumbuhan tanpa keadilan, lahan Kalteng sudah 80 persen dikuasai PBS yang menjuruskan Kalteng ke arah monokultur: kultur sawit. Koperasi tidak berkembang semestinya.

Mengenai tingginya harga barang dan kebutuhan pokok, sekali pun memang ada faktor  trasportasi, tetapi barangkali lebih utama lagi dari faktor transportasi, masalah terletak pada adakah upaya untuk tidak terlalu tergantung pada luar.  Kalteng sekarang adalah pasar bagi produk luar. Padi yang ditanam di lahan Kalteng oleh sistem ijon dibawa dan diolah di luar, dimasukkan kembali menjadi beras dengan harga mahal. Padahal akan lebih menguntungkan jika diolah di Kalteng sendiri. Yang mustahil adalah lahan Kalteng yang bisa ditanami kubis, wortel, lombok, bawang merah, bawang putih, gula, kopi, the,  dan lain-lain tapi barang-barang ini didatangkan dari luar. Sekolah Pertanian di Tumbang Lahang, Kabupaten Katingan kurang dilirik dan diintensifkan padahal sekolah ini membuktikan potensi alam Kalteng untuk pengembangan pertanian. Dahulu untuk menghadapi musim kemarau panjang atau masa paceklik, Orang Dayak mempunyai lusuk (lumbung). Sekarang lusuk itu boleh dikatakan punah. Pantai panjang Kalteng tidak pernah memberikan rumahtangga-rumahtangga garam, lahan luas 1,5 kali Pulau Jawa tidak diternaki sapi , kambing, ayam,  itik yang memberikan penduduk daging. Bahkan pembibitan ikan patin dilakukan di Bogor, Jawa. Semuanya didatangkan dari luar. Persediaan cukup berrti yang didatangkan cukup banyak. Bukan cukup karen diproduksi di Kalteng. an aglah-Sekiranya ada politik mandiri, politik meminimkan ketergantungan, ada politik keamanan bahan pangan dan bahan pokok,  kiranya harga barang dan kebutuhan pokok tidak berada dalam keadaan seperti sekarang. Sampai-sampai gelombang Laut Jawa turut mempermainkan hidup Uluh Kalteng. Demikian tergantungnya Kalteng pada pihak luar, saya kira pertama-tama bukan karena soal transportasi tetapi lebih bermula pada pilihan politik, secara khusus politik pemberdayaan dan pembangunan.

Hal yang dikritik oleh  Alma Adventa bahwa “Pola eksploitasi SDA yang mengekstraksi SDA di pedalaman untuk membangun daerah luar”, pun apakah bukan produk dari pilihan politik?

Apabila muasal dari  ketergantungan ini terdapat di pilihan politik, dan politik ditentukan oleh politisi disebut terpilih melalui pemilu, maka para politisi inilah penanggungjawab utama ketertgantungan Kalteng. Sementara dunia politik negeri ini, termasuk di Kalteng, politisi dan pengusaha berada di satu sosok. Pola pikir dan kepentingan politisi-pengusaha, pengusaha-politisi inilah yang menjadikan segalanya dijadikan komoditas. Sedangkan mayoritas warganegara berada dalam posisi obyek yang lemah di depan negara. Basis ekonomi pengusaha ini menentukan kesadaran sosial politisi yang kemudian memperkokohkannya dalam regulasi. Pola eksploitasi SDA yang mengekstraksi SDA di pedalaman untuk membangun daerah luar”, adalah salah satu bentuk dari politik mengkomoditaskan segala. Oleh karena itu maka “uang adalah raja (l’argent roi) menjadi filosofi dominan. Filosofi inilah yang menjadikan demokrasi Indonesia sekarang, seperti dikatakan oleh Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli sebagai”demokrasi kriminal yang berbiaya tinggi” bukan “demokrasi kerakyatan”. “sekedar demokrasi prosedur, sekedar adanya pemilihan”. Menurut Rizal demokrasi di Indonesia juga sudah dibajak dengan kekuatan uang. Karena itu proses demokrasi di Indonesia biayanya menjadi sangat tinggi. Oleh sebab itu “demokrasi seperti ini harus segera dihentikan," Menurut Rizal demokrasi kriminal seperti ini telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Membuat “rakyat Indonesia bagai anak yatim piatu yang tak mempunyai ayah dan ibu. "Rakyat kita harus mengurus dirinya sendiri. Pemerintah tak mampu menciptakan lapangan pekerjaan," katanya.(http://www.antaranews. com /berita /257091 /rizal-ramli-segera-hentikan-demokrasi- kriminal). Pemerintahan sebagai pengelola kehidupan bernegara diperlakukan sebagai  lahan kehidupan. Pendidikan dan anak didik pun tidak dijadikan subyek tapi obyek atau komodoti yang melayani  kepentingan pemilik kapital besar. Berbeda dengan pilihan politik Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang melakukan pembangunan Aceh melalui pertama-tama investasi manusia. Menjadi rakyat Aceh sebagai subyek bermutu. Artinya dalam sistem “demokrasi kriminal” ini, ketika rakyat lemah di hadapan Negara, pengelola kekuasan mempunyai peran desisif.
Selama politik pembangunan yang dipilih masih bercorak neo-liberalisme, pembangunan apapun, baik itu di lingkup satu provinsi ataupun mencakup beberapa provinsi, akan  berjalan di alur ini. Kepentingan rakyat tidak dijadikan poros. Ia menjadi poros hanya di tingkat verbal. Yang menjadi poros adalah uang untuk diri dan kelompok. Kepentingan rakyat akan menjadi poros pada saat UUD ’45 , terutama Pasal 33 dilaksanakan benar. Karena itu pada tanggal 22 Juli 2011 telah dilancarkan sebuah gerakan yang diberi-nama ‘Gerakan Pasal 33'. Gerakan ini diluncurkan secara nasional dan berlangsung di beberapa kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Palembang, Lampung, Kendari, dan lain-lain( Berdikari Online,. Senin, 18 Juli 2011). Gerakan ini dilncarkan dalam upaya mengobah imbangan kekuatan riil dalam masyarakat guna mewjudkan yang disebut oleh  Rizal Ramli sebagai ‘’demokasi kerakyatan’’. Dengan semangat yang serupa pula barangkali yang mendorong  Hendra Sembiring memanjat gedung DPR-RI 5 Juli 2011 lalu, sambil berteriak ''Kembalikan UUD 1945'' seperti Bung Karno melakukannya 52 tahun silam. (http://www.balipost.com/mediadetail.php?module= detail berita & kid =1&id=53908)

Pendapat yang diajukan oleh Rizal Ramli di atas, sudah lama diketengahkan dan diperjuangkan oleh antara lain Revrisond Bawsir, pakar ekonomi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Revrisond selalu dengan tegas menyatakan bahwa “untuk bisa mandiri, Indonesia harus keluar dari IMF dan Bank Dunia, Indonesia harus menyadari, sekarang kekuatan ekonomi dunia sudah berubah.Selain Amerika Serikat, Eropa juga muncul apa yang disebut dengan BRIC (Brasil, Rusia, India dan Cina). Jadi, muncul pasar-pasar yang sangat kuat juga."Gejolak di Amerika sekarang menunjukkan bahwa ekonomi negara adidaya itu juga bisa anjlok. Sehingga harus menimbulkan keyakinan baru bahwa Indonesia harus lebih mandiri, lebih berani membangun karakternya dan mencari jalan keluar terhadap problem-problem ekonomi yang ada secara lebih mandiri," kata Revrisond.

Untuk mencegah kecipratan krisis, simpul Revrisond , Indonesia harus kembali kepada UUD45.
" Indonesia harus menempuh politik perekonomian yang bertumpu pada tegaknya kedaualatan ekonomi rakyat."Ini berarti, tambahnya, kedaulatan ekonomi itu ada di tangan rakyat. "Bukan di tangan kapital, bukan di tangan korporasi dan juga bukan di tangan pemerintah. Ini dikenal dalam bahasa akademis sebagai demokrasi ekonomi."

Kalau Indonesia tidak berbuat demikian, maka negeri ini akan semakin tergantung dengan Amerika. Revrisond menilai aneh banyak orang Indonesia yang berharap agar ekonomi Amerika cepat pulih, supaya ekonomi Indonesia tidak ikut merosot.

Terakhir pakar ekonomi di UGM ini berharap agar krisis yang melanda Amerika dan munculnya BRIC merupakan bagian dari proses yang secara tidak disengaja juga mengarah pada tumbuhnya demokrasi ekonomi secara internasional.

"Makanya Indonesia tidak tergabung dalam BRIC dari awal, karena dia tidak termasuk inisiator. Bahkan Indonesia selama ini cendrung bertindak menjadi penengah kalau ada problem antara Amerika Serikat dengan negara-negara BRIC," tandasnya. (http://www.rnw.nl /bahasa-indonesia/article/ekonomi-indonesia-harus-bertumpu-pada-rakyat).

Niscayanya para pemangku kekuasaan di Kalteng mencermati perkembangan di atas dan mengarah ke perwujudan ekonomi sesuai ketetapan Pasal 33 UUD ’45? Ketergantungan  dan orientasi pengembangan ekonomi seperti sekarang, orientasi pedagang primitif yang mengobral kekayaan pulau, berangkat dari pola pikir serba instan, tidak akan pernh membuat Kalteng bisa mempertahankan hidupnya. Malahan akan makin terpuruk. Padahal menurut definisi Lester Brown dari Worldwatch Institute, “masyarakat yang mampu mempertahankan hidupnya ialah suatu masyarakat yang mampu mempertahankan kehidupannya tanpa mengurangi prospek generasi-generasi bangsa masa depan”. Kehancuran lingkungan, masih terdapatnya 60,009 persen desa tertinggal di Kalteng (menurut angka Daulay dari Bappeda Kalteng), bahkan gelombang Laut Jawa  turut mempermainkn hidup Uluh Kalteng, dunia pendidikan jadi komoditas, apakah hal-hal demikin isyarat menjanjikan tentang suatu prospek gemilang bagi “generasi bangsa masa depan”?
Masalah lain yang diketengahkan oleh Alma Adventa ketika melihat penolakan Teras-Diran atas rencana pembangunan rel kereta-api ke Kaltim adalah masalah ‘’Pembagian pajak pusat dan daerah’’. ‘’ Rebutan proyek’’ jika meminjam Direktur Walhi Kalteng, Arie Romps (Harian Palangk Post, 10 Agustus 2011). Terjadinya ‘’rebutan’’ pajak atau proyek antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menunjukkan keinginan Pusat untuk tetap mendoinasi daerah sekali pun di masa otonomi sedang  dilaksanakan. Menguasai pajak besar dan proyek-proyek mega seperti proyek Rel Kereta Api Perusahaan Besar Swasta, Pemerintah Pusat makin bisa leluasa berkuasa dengan menggunakan uang sebagai alat pengendali dan penekan untuk melaksanakan sentralisme di bawah selubung otonomi atau desntralisasi. Boleh jadi pada  rebutan pajak dan atau proyek begini, melambangkan pertarungan antara sentralisme dan desentralisme, bahwa otonomi sekarang masih merupakan otonomi separo hati. Pemeirintah Pusat tidak puas dengan hanya mengurus politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan gama seperti yang diterakan dalam Bab III Pembagian Urusan Pemerintahan,Pasal 10, UU  RI No.32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah. 

Keasyikan pada sentralisme ini juga bisa dilihat pada UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa ‘’kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap’’. Pasal ini  tidak mengindahkan sama sekali keadaan lapangan di daerah, tanpa mengindahkan juga pasal-pasal lain  seperti Pasal 14 dan Pasal 15. Sehingga tiadanya kepastian hukum walaupun ada hukum seperti yang dituliskan oleh Harian Bali Pos, membuat ‘’detak jantung kita dibikin semakin tak teratur oleh Zaman Reformasi yang disertai angin ribut demokrasi ini. Padahal sesuai tuntutan kaum reformis yang ngaku demokratis, UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali, (sekarang ada usul untuk mengamandemennya lagi –KS), namun hasilnya justru tambah kacau. Mirip seperti tukang reparasi barang-barang elektronik, yang kebanyakan ahli bongkar tapi tidak ahli pasang, sehingga kita lebih memilih beli barang baru daripada memperbaiki yang rusak. Ongkosnya lebih mahal dibanding membeli yang baru, meski berkali-kali diperbaiki, barang justru tambah rusak’’(http://www.balipost.com/mediadetail.php? module=  detailberita & kid =1&id=53908)

Keadaan ini melukiskan bahwa bangsa dan negara ini dikelola oleh rencana tanpa sistematik. Juga Kalteng, menunjukkan jauhnya jalan menuju Republik Indonesia yang sungguh-sungguh republikan dan berkeindonesiaan. Membuktikan bahwa Borneo , termasuk Kalteng tidak lain dari ”The Open Veins” .

Ratusan tahun silam, James Brook si Raja Putih dari Sarawak,  sudah memperingatkan tentang akan terjadinya keadaan begini terhadap Borneo , khususnya terhadap Orang Dayak. Peringatan serupa kembali diulangi oleh para antropolog Eropa Barat pada Abad Ke-20. Di tahun ini mengapa kita tidak membuka mata ketika  “mendengar suara jerit hewan yang terluka”, dan “ada anak burung terjatuh dari sarangnya”? Bersama Rendra, saya ingin berkata:

“Ya! Ya !Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak
Sebagai seorang manusia.’’


Dari suatu ketinggian, kulihat ada orang berang sambil menuding-nuding, sementara angin ribut melanda kampung di pedataran. Kemudian koran-koran pagi bertutur tentang perampokan,pembunuhan,perkosaan, dan juga kemarin ada anak mati tenggelam di sungai. Ada anak menangis malu dan sedih mengetahui ibunya dipaksa melacur untuk makan keluarga sehari di  ibukota Kalteng-ku. Jauh di tengah pulau, ada kemerlap lampu-lampu kampung baru, kmpung-kampung PBS. Di antara desau angin kembali terngiang suara Rita Hayworth dalam sebuah filmnya, sebelum dihukum mati berseru: “I want to live!” (Aku mau hidup!). Tidakkah seru itu adalah juga  serumu Kalteng? Mengapa kita tidak membuka mata dan telinga?***
 
KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, Palangka Raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar