Laman

7 Sep 2011

MEGAH-MEGA ATAUKAH SEJAHTERA?



Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) H.Supian Hadi mempunyai memperlihatkan  ciri anak mudanya, dengan ambisi untuk membangun Sampit, ibukota Kotim ‘’menjadi kota termegah’’ (Harian Palangka Pos, 1 Agustus 2011). Ambisi ini ingin ia wujudkan selama lima tahun masa jabatannya. Untuk melaksanakan ambisi ini, ia mengundang Guru Besar Universitas Indonesia  Prof. Dr. Ismeth Samsurizal Abidin berserta rombongannya.  Terhadap ambisi Supian ini, sang Profesor mengatakan “hal tersebut menjadi tantangan bagaimana caranya merubah Kota Sampit menjadi kota  yang termegah. Banyak langkah-langkah yang perlu dilakukan, segala sesuatunya harus dievaluasi dan ada tahap-tahapnya  Kita juga harus mengembangkan sistem transportasi semantap-mantapnya dengan tujuan mengidentifikasi potensi perkembangan yang berlaku, pendlman potensi obyek untuk pengembangan, serta perumusan kelanjutan perkembangan yang harus dilakukan secara terintegrasi, indentifikasi semua SDA, SDM yang ada” (Harian Palangka Post, 1 Agustus 2011). Komentar Profesor Dr. Ismeth Samsurizal ini menunjukkan bahwa “mengobah Kota Sampit menjadi kota yang termegah” adalah suatu kegiatan bersegi sangat banyak. Bukan pekerjaan sederhana. Lagi pula apa yang dimaksudkan oleh Supian Hadi dengan “termegah” juga tidak jelas sama sekali. Tapi karena Bupati Kotim ini sedang berbicara tentang soal tata kota, maka kurang lebih yang dimaksudkan dengan “termegah” itu berhubungan dengan bangunan fisik  kota. Sedangkan mengenai penataan tidak rasuk jika dikatakan dengan kata sifat “megah” atau imbuhan superlatif “ter”. Untuk penataan , kata sifat yang lebih rasuk adalah indah dan teratur. Tanpa kekumuhan, tanpa kebopengan oleh sampah bertaburan di sepanjang jalan, di dalam selokan dan sungai. Jika kemegahan didampingi oleh kekumuhan dan ketidakbersihan maka kemegahan itu akan menjadi kemewahan yang tidak rasuk sehingga yang terwujud adalah keburukan penampilan.

Masih mengenai kata  sifat ‘’termegah’’. Perbandingan manakah yang diambil oleh Supian ketika berbicara tentang “termegah”?  Apakah “termegah” se-Kalteng, se-Kalimantan, se-Indonesia, atau sedunia? Dengan menggunakan kata sifat ini, saya melihat bahwa Supian tidak bisa membebaskan diri dari penyakit para birokrat negeri ini yang tidak cermat berbahasa Indonesia. Bukan hanya tidak cermat, bahkan masih berada pada tingkat yang harus belajar berbahasa nasional lagi agar  apa yang dimaksudkan rasuk dengan kosakata dan kalimat yang digunakan. Sebab salah kosakata, awalan, akhiran dan sisipan , titik atau koma, akan meninggalkan pesan-pesan berbeda dari yang dimaksudkan apalagi dengan bahasa Indonesia yang akurasinya sebagai bahasa masih perlu dikembangkan dan sedang berkembang. Bahasa adalah cerminan pikiran dan bahasa, gambaran dari selesai tidaknya wacana di kepala. Bahasa yang tidak akurat akan berdampak pada produk komunikasi.  Dalam kemampuan berbahasa ini terdapat tingkat-tingkat ‘’yang baik dan benar” , disamping itu terdapat juga tingkat “bisa berkata-kata tapi tidak bisa berbahasa”. Sedangkan dalam soal alpabetisme a juga bertingkat-tinggkat seperti adanya tingkat “tidak buta aksara tapi tidak bisa membaca”, ‘’tidak buta aksara bisa membca dan berbahasa”.

Megah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus standar bahasa nasional, berarti  “tampak menggumkan, gagah, kuat mulia, besar (hlm.641). Dari pengertian ini, tidak terkandung pada kosakata “megah” pengertian kesejahteraan rakyat. Kalau demikian, yang menjadi ambisi Bupati Kotim, Supian Hadi adalah pembangunan fisik yang tampak mengagumkan, sedangkan kesejahteraan rakyat kabupaten tidak menjadi ambisi utamanya. Padahal akan lebih baik sekiranya kemegahan yang jadi ambisi itu didasarkan pada kesejahteraan rakyat. Kemegahan muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya kesejahteraan.  Tapi dengan mendahulukan kemegahan dari kesejahteraan, pilihan begini akan menambah penderitaan rakyat kabupaten. Patut diingt bahwa angka kemiskinan di Kabupaten Kotim termasuk yang tinggi sekalipun PBS perkebunan bertaburan di berbagai penjuru. Untuk mendirikan hal-hal megah secara fisik itu pasti memakan biaya sangat besar. Biaya besar itu didapat dengan memotong anggaran yang semestinya bisa diberikan kepada rakyat. Kemegahan fisik tapi tidak sejahtera, bisa menjadi sarang segala rupanya-rupa kemudratan karena di kota demikian, terdapat  kesenjangan sosial yang luar biasa. Kesenjangan sosial menjadi ibu kandung segala kejahatan. New York adalah salah satu contoh saja. Contoh lain adalah Bijlmeer, di pinggiran Amsterdam,  sebuah bangunan besar seluas beberapa kampung Indonesia. Kemegahan Jakarta pun demikian. Di bawah jalan-jalan tol dan bangunan bertingkat, tersuruk kampung-kampung kumuh.  Apakah wacana “Sampit Kota Termegah” Supian menyontek konsep kota-kota ini? Lebih memilih kemegahan fisik daripada memilih kemegahan non fisik bernama penduduk yang sejahtera dan berbudaya?

Menata kota, memang suatu keniscayaan. Kota-kota dan kampung-kampung di Kalteng memang patut ditata ulang tapi tanpa diembel-embeli dengan kata sifat dan predikat “termegah” yang pasti mengambil tumbal kehidupan rakyat. Apabila membiarkan kota dan kampung tidak tertata, membiarkan bangunan tumbuh seenak hati pembangunnya, tutup mata terhadap berkembangnya gubuk-gubuk tempelan dan kampung-kampung kumuh di luar master plan kota, semuanya ini isyarat dari tingkat hidup penduduk di mana bersarang segala penyakit sosial. Sarang-sarang penyakit sosial karena ketidaksejahteraan, cepat atau lambat akan menjadi bom-bom waktu yang suatu hari akan meledaki kota dan daerah, bahkan seluruh negeri.

Kemegahan langgeng dan berjangka panjang adalah pembangunan manusia. Melakukan investasi manusia seperti yang dilakukan oleh Tjilik Riwut dan angkatannya, atau yang  sebelumnya dilakukan oleh Hausmann Baboe dan generasinya. Pilihan ini sekarang sedang dilakukan dengan sadar oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Setelah memperoleh Doktor Honoris Causa Bidang Kepemimpinan dan Pembangunan Pendidikan dari Universiti Pendidikan Sultan Idris di Perak, Malaysia, Irwandi selaku Gubernur, lebih memfokuskan programnya untuk mengembangkan dunia pendidikan dan tekhnologi di Aceh. Untuk itu ia membentuk Komisi Beasiswa Aceh yang membiayai putera-puteri  Aceh menempuh program master (S-2) dan doctor (S-3) ke Eropa, Australia, Amerika Serikt dan Timur Tengah. Menurut Irwandi , program investasi sumber daya manusia yang dibiayai Pemerintah Provinsi Aceh ini memberangkatkan ratusan pelajar Aceh untuk belajar ke universitas-universitas terkemuka dunia setelah tahun.”Kami perkirakan, Aceh akan memiliki sedikitnya 2000 doktor  dari berbagai disiplin ilmu pada tahun 2020 yang kemudian akan menjalankan pembangunan Aceh ke depan, termasuk memanfaatkan sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteran dan keadilan bagi rakyat”. Demikian Irwandi Yusuf (Harian Kompas, 1 Agustus 2011).  Ini adalah proyek kemegahan Aceh yang berdampak jauh ke depan. Kemegahan berdampak jauh apakah yang dicapai dengan kemegahan fisik hari ini tapi dibangun di atas pemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan yang mestinya pengentasannya dinomorstukan? 

Akibat dari  kemegahan yang dibangun di atas kemelaratan rakyat dilukiskan oleh novel Shin Suikoden karya Eiji Yoshikawa yang mengisahkan kepahlawanan 108 pendekar, yang di mata rakyat disebut-sebut pahlawan tetapi di mata penguasa disebut bandit-- untuk melakukan pemberontakan melawan "kebengisan pemerintah Dinasti Song.
Sejarah memang telah  menorehkan segudang kisah. Ketika sang pangeran (negara kerajaan) mengandalkan keberuntungan semata, pastilah akan berujung tragis --tersungkur dari tahta. Pasalnya, tatkala rakyat ditikam duka lara kelaparan, dan elite politik hanya mengurus perut sendiri, bahkan ketidakadilan teronggok di sudut-sudut kota, benih pemberontakan pun meneguhkan tindakan brutal di luar konstitusi untuk menumbangkan "kursi kekuasaan" sang pangeran. Tapi  bagi kaum Machiavellian, seseorang bisa jadi pengeran dalam sebuah negera kerajaan karena ia memang diberkahi keberuntungan. Sebab dalam (negara) kerajaan, orang diangkat jadi pengeran berdasarkan keturunan. Tetapi, tanpa didukung "kemampuan", jelas keberuntungan itu akan sirna. Dengan kata lain, keberuntungan itu harus ditopang dengan kemampuan besar, otak genius, tahu cara memimpin, bertahan, dan bahkan bertindak demi mempertahankan kekuasaan itu. Dan tindakan kejam (meski pun tidak bermoral, dan tidak beragama), tetap dibutuhkan untuk memberikan sebuah kekuatan. Sekali pun langkah itu tidak mengantarkan sang pangeran pada kemuliaan (N. Mursidi, cerpenis dan blogger buku, Kompas, Minggu 31 Juli 2011).
Ukuran moralitas di negeri ini  sekarang tidak lain dari rangkaian nilai republikan dan berkeindonesiaan atau dengan kata lain adalah kepentingan rakyat. Ide dan ambisi membangun Kota Sampit,  gampang terpelanting  ke jurang Machiavellian di atas.
Bebeda dari ide-ide Machevellian di atas adalah ide dan kebijakan yang dipilih oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ini sebenarnya di Kalteng pernah diperlihatkan oleh selain pada masa kegubernuran Tjilik Riwut, juga oleh dibangunnya Yayasan Isen Mulang. Dana Isen Mulang dipungut dari pemegang HPH. Dan yang terkumpul dimaksudkan untuk membiaya putra-putri Kalteng melanjutkan pendidikan tinggi mereka.  Hanya saja nampaknya, penggunaan  dana yang terkumpul itu tidak digunakan sesuai rencana semula. Sekarang entah ke mana dana dan diapakan dana tersebut. Saya sendiri, pernah mencoba melakukan upaya yang dilakukan oleh Irwandi Yusuf melalui sebuah Universitas di Palangka Raya ini dengan disponsori oleh sebuah Badan Donator internasional. Tapi upaya ini terjegal oleh satu dan lain hal yang tidak rasuk dengan cita-cita demikian. Kalau kita melihat Viêt Nam atau Tiongkok yang sekarang menjadi kekuatan ekonomi paling nomor dua atau tiga di dunia, negeir-negeri ini melakukan apa yang dilakukan oleh Irwandi. Menyongsong  Vîêt Nam bebas dari pendudukan Amerika Serikat, Viêt Nam mengirim putra-putrinya belajar ke berbagai negeri. Demikian juga Tiongkok. Bangunan megah sekarang yang ada di Beijing,Shanghai, Kanton, dan lain-lain dibangun oleh tenaga-tenaga yang mereka siapkan sejak lama tanpa tergantung pada tenaga luar. Amerika Serikat, Perancis (dengan politik “imigrasi selektif”nya) maju berkat tenaga-tenaga yang mereka siapkan sejak dini dan terencana, di samping menyerap tenaga-tenaga “brain drain” dari negeri-negeri lain. Presiden Soekarno pun sesungguhnya memilih politik pendidikan begini juga. Ribuan putra-putri Indonesia ia kirim ke luar negeri, termasuk Habibie. Politik pendidikan begini meninggalkan kemegahan efektif dan berjangka panjang untuk bangsa dan negara. Untuk Kalteng investasi Kalteng sekarang, apakah tidak ada baiknya jika kepada para investor dimintakan sumbangan mereka untuk pendidikan lanjut putra-putri Kalteng, sehingga  paling tidak seperti Aceh,  Kalteng pun memiliki sedikitnya 2000 doktor  dari berbagai disiplin ilmu pada tahun 2020 yang kemudian akan menjalankan pembangunan Aceh ke depan, termasuk memanfaatkan sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat?

Berikut adalah sebuah dialog yang melukiskan arti penting pendidikan sebagai kunci kemajuan bangsa.
Tatkala Perang Dunia ke-2 usai, Jepang menderita kekalahan. Beberapa petinggi militer menghadap kaisar untuk melaporkan kekalahan tentaranya dan negara yang hancur porak poranda. Terjadilah pembicaraan di antara mereka. Kaisar bertanya, ”Masih adakah prajurit kita?” Dijawab, ”Sudah habis, Kaisar.” Kaisar bertanya lagi, ”Adakah para panglima yang tersisa?” Dijawab, ”Sudah tidak ada, Kaisar. Sebagian terbunuh dalam perang, sebagian yang hidup melakukan harakiri.” Beberapa pertanyaan kaisar dijawab dengan kepesimisan karena semua potensi bangsa dianggap sudah hancur. Terakhir kaisar bertanya, ”Apakah guru masih ada ?” Dijawab, ”Masih ada, Kaisar.” Kaisar pun berkata dengan penuh semangat, ”Kalau begitu, mari kita bangun kembali negeri ini dengan para guru itu.”
Kurang dari sepuluh tahun kemudian Jepang sudah berhasil membangun ekonominya menjadi kekuatan dunia baru. Bahkan kemudian kita ketahui bersama Amerika Serikat yang dahulu mengalahkan Jepang dalam perang fisik sekarang secara ekonomi –terutama dalam dunia otomotif bertekuk lutut kepada Jepang. Mobil-mobil Jepang saat ini menguasai Amerika dan mengalahkan produsen-produsen mobil di sana (mediacre, Monday, 1 August 2011 15:30:26 ).
Contoh-contoh sejarah di atas, memperlihatkan bahwa pilihan dan ambisi  Supian Hadi selaku Bupati Kotim, patut dipertanyakan. Pertanyaan pun patut diajukan kepada semua pengelola kekuasaan berbagai tingkat: Apakah investasi manusia yang menjanjikan kemegahan sesungguhnya dan langgeng sudah menjadi suatu fokus. Boleh jadi Kalteng Harati menjurus ke arah ini, tapi agaknya  Gubernur Aceh Irwandi Yusuf melangkah dengan kematapan yang lebih.
Hal lain yang ingin saya juga catat di sini, terutama saya alamatkan kepada mereka  yang berasal dari luar Kalteng yang dimintakan sumbangannya. Dalam hal ini, saya ingin mengambil contoh patung Tjilik Riwut yang berdiri di depan Kantor Bupati Kabupaten Katingan di Kasongan. Patung itu diciptakan oleh pematung dari Jawa. Tentu sah dan bik-baik saja. Hanya sayangnya, patung itu tidak mencerminkan jiwa atau roh Tjilik Riwut sama sekali. Artinya pematung tidak menghayati obyeknya atau temanya. Sehingga saya tidak bisa menyebut patung itu sebagai suatu karya adalah karya yang berhasil. Secara terus-terang, saya pastikan patung tersebut adalah  patung yang gagal. Sama gagalnya dengan patung enggang di depan Kantor BLH Provinsi , Palangka Raya. Saya khawatir , mereka yang kelak dipercayakan untuk membangun dan menata Kota Sampit menjadi Kota termegah” mengulangi yang dilakukan oleh pematung yang menciptakan patung Tjilik Riwut. Jiwa lokal, unsur-unsur arsitektur setempat dan budaya daerah tidak dijadikan perhatian sehingga Sampit “kota termegah” menjadi kota asing dari budaya Kalteng. Jika ingin menggunakan tenaga-tenaga dari luar, orang yang tidak mempunyai kompleks rendah diri, juga akan menggunakan tenaga-tenaga local. Orang luar belum tentu memahami roh dan budaya lokal. Tenaga dari luar bukanlah segala-galanya walau pun sederet gelar akademi menyertai nama mereka.  Sampit adalah Sampit. Palangka Raya adalah Palangka Raya. Kalteng bukan Jawa, bukan Sulawesi  Sumatera atau Papua. Tapi benar juga, rasa rendah diri terselubung memang masih cukup kuat di Kalteng. Sekedar canang sebelum ambisi ini ditindaklanjuti.

Masalah membangun kota megah-mega atau sejahtera, inti masalahnya, meminjam ungkapan Tari Lestari, yang menekuni masalah ekonomi-politik lulusan  University of Illinois.terletak “thousands of facts show that the poor in Indonesia also have a serious problem with their psychology and mind-set” -- ribuan fakta yang menunjukkan bahwa kaum papa Indonesia juga  mempunyai masalah serius  dengan psikhologi dan pola pikir mereka (The Jakarta Post, Fri. 07 January 2011) . “The poor mind-set” ini semacam virus menjangkiti seluruh lapisan masyarkat kita. Sampit pun tak luput dari serangannya. Karena itu ujar Tari Lestari ‘’ It may be too early to say that all these solutions are the best policy recommendations, but thinking about individual behavior and how we interact with government policies would be a first step toward producing some extremely interesting insights” (Barangkali terlalu dini mengatakan bahwa semua solusi adalah rekomendasi politik terbaik, tetapi memikirkan masalah perilaku individual dan bagaimana kita berinteraksi terhadap politik-politik pemerintah akan merupakan langkah pertama ke arah menghasilkan hal-hal yang sangat menarik). Dengan kata lain, yang paling menentukan adalah manusia dan kualitas manusianya. Secara lebih spesifik men behind the gun, men in power (l’homme du pouvoir) Masalah utama Indonesia, Kalteng dan juga Sampit adalah kualitas men behind the gun ini, terutama karena masalah “the poor mind set”.***

KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, Palangka Raya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar