Laman

7 Sep 2011

Kliping_Jerman Lirik Energi Terbarukan


PENGURANGAN EMISI KARBON

Jerman Lirik Energi Terbarukan


M Zaid Wahyudi
Keputusan Pemerintah Federal Jerman menghentikan operasional seluruh pembangkit listrik tenaga nuklirnya pada 2022 ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan. Sebagian pihak mendukung dan mengapresiasi, sementara sebagian lain menyangsikannya. 

Ledakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi Jepang pascagempa dan tsunami dahsyat pada Maret lalu langsung direspons Pemerintah Federal Jerman. Mereka meninjau aspek keselamatan dan kemanfaatan 17 PLTN miliknya.
Hasilnya, tujuh PLTN yang beroperasi sejak sebelum 1980 dihentikan sementara dan satu PLTN yang dibangun awal 1980-an kini dalam posisi siaga (stand-by)—dimatikan, tetapi bisa dioperasikan sewaktu-waktu. Sementara enam PLTN sisanya akan dimatikan pada 2021, dan tiga PLTN lainnya rencananya akan dimatikan pada 2022.

Desakan publik untuk menutup PLTN di Jerman sudah berlangsung lama. Pemerintah sudah menyiapkan kebijakan untuk mengganti PLTN dengan energi terbarukan yang ramah lingkungan, optimalisasi efisiensi pembangkit energi fosil, serta menyiapkan langkah selama masa transisi. Rencana kebijakan ini menemukan momentum begitu terjadi insiden di PLTN Fukushima Daiichi.

”Kebijakan ini bukan didasari kondisi keselamatan PLTN (pascaledakan PLTN Fukushima Daiichi), tetapi karena pemahaman tentang keselamatan PLTN yang berubah,” ungkap Sekretaris Urusan Parlemen, Kementerian Lingkungan Hidup, Perlindungan Sumber Daya Alam, dan Keselamatan Nuklir, Jerman, Ursula Heinen-Esser di Berlin, Juli lalu.

Pilihan pengganti peran energi nuklir jatuh pada energi terbarukan. Energi terbarukan dipilih karena tersedia di Jerman, tak perlu diimpor, seperti gas alam ataupun batubara, serta jauh lebih bersahabat dengan lingkungan.

Jenis energi terbarukan yang paling banyak digunakan adalah angin. Adapun energi matahari, kini dalam pengembangan besar-besaran.

Energi terbarukan dipilih juga karena sifatnya yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam skala kecil. Dengan itu diharapkan target Jerman menurunkan emisi GRK sesuai Protokol Kyoto dapat dipenuhi. Jerman menargetkan penurunan emisi GRK mencapai 40 persen pada 2020 dan 80-95 persen pada 2050 dibandingkan dengan emisi pada 1990—sebesar 974 juta ton.

Kebijakan lain yang ditempuh adalah meningkatkan efisiensi penggunaan energi fosil. Tingkat konsumsi energi primer diharapkan bisa diturunkan hingga 20 persen pada 2020 dan 50 persen pada 2050 dibanding tingkat konsumsi 2008.

Salah satu langkah yang akan dilakukan untuk menghemat penggunaan energi adalah dengan memodernisasi gedung-gedung. Gedung-gedung tua dikenal boros energi karena butuh banyak energi untuk penghangat di musim dingin dan untuk pendingin di musim panas.

Dalam bidang transportasi, konsumsi energi akan dikurangi hingga 10 persen pada 2020 dan 40 persen pada 2050. Langkah yang akan dilakukan adalah menargetkan ada 6 juta mobil elektrik di jalanan Jerman pada tahun 2030.

”Konsep energi ini harus mampu menjamin penyediaan energi, harga energi yang terjangkau bagi masyarakat dan industri, serta memenuhi target perlindungan iklim,” tambah Ursula.

Kebutuhan energi

Data Masyarakat Nuklir Eropa (European Nuclear Society) menunjukkan, 17 PLTN milik Jerman itu berkapasitas 21.517 megawatt (MW). Pada 2010, seluruh PLTN itu mampu menyediakan 140,6 miliar kilowatt jam listrik. Setelah delapan PLTN dimatikan, kapasitas listrik yang tersedia tinggal 12.696 MW.
Untuk menjamin kebutuhan energi, pemerintah memiliki cadangan listrik sekitar 15.000 MW. Cadangan ini setara dengan kapasitas 10 PLTN yang dimiliki dan mampu memenuhi kebutuhan pada beban tertinggi.

Berbeda dengan Perancis, nuklir bukanlah sumber energi utama di Jerman. Konsumsi energi Jerman pada 2008 paling banyak berasal dari minyak bumi (34,1 persen), disusul batubara 24,3 persen, dan gas alam 22,8 persen. Nuklir hanya 11,5 persen dan energi terbarukan 7,3 persen.

Deputi Kepala Divisi Tenaga Air, Energi Angin, dan Integrasi Jaringan Energi Terbarukan, Kementerian Lingkungan Hidup, Perlindungan Sumber Daya Alam, dan Keselamatan Nuklir, Kai Schlegelmilch mengatakan, dalam pengembangan energi terbarukan sebagai pengganti nuklir, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) menjadi prioritas utama. Angin tersedia hampir sepanjang tahun dan biayanya jauh lebih murah daripada pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Penggunaan energi terbarukan, baik dari angin, matahari, air, maupun biomassa dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada 2010, peran energi terbarukan dalam konsumsi energi nasional, baik untuk listrik, pemanas, industri, maupun transportasi naik jadi 11 persen. Ditargetkan peranan energi terbarukan jadi 18 persen pada 2020.

Penggunaan energi terbarukan paling banyak untuk listrik dan pemanas, masing-masing 17 persen dari total listrik yang dihasilkan dan 10 persen dari seluruh energi untuk pemanas pada 2008. Peran energi terbarukan untuk industri dan transportasi tidak ada alias nol.

Meski penggunaan energi terbarukan untuk listrik masih rendah, pemerintah berani menargetkan peningkatan peran energi terbarukan untuk listrik hingga 35 persen dari penyediaan listrik nasional pada 2020.

”Target ini sangat tinggi, tetapi ini tidak datang dari surga. Butuh kebijakan yang mendukung,” kata Schlegelmilch.

Salah satu dukungan diwujudkan melalui investasi sekitar 26,6 miliar euro (sekitar Rp 324,5 triliun) untuk penelitian energi terbarukan. Dari dana itu, sekitar 73 persen untuk pengembangan dan peningkatan efisiensi dari panel surya atau sel fotovoltaik.

Penelitian juga dilakukan untuk modernisasi pembangkit berbahan bakar fosil yang ada sehingga mampu bekerja lebih fleksibel, efisien, dan emisinya lebih rendah daripada pembangkit generasi sekarang. Pembangkit yang memenuhi kriteria itu adalah yang berbahan bakar gas. Investasinya hanya separuh dan lebih cepat pembangunannya daripada pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Jurnal Energi Terbarukan www.rejournal de Henner Weithoner mengatakan, keraguan itu wajar mengingat lompatan target penggunaan energi terbarukan untuk listrik ataupun pemenuhan kebutuhan energi nasional sangat tinggi dibandingkan dengan kondisi riil kini. Belum lagi, meski ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan juga mengundang kontroversi lainnya dari sisi lingkungan.

Sektor industri dan transportasi belum yakin bahwa di kedua sektor energi terbarukan mampu memenuhi kebutuhan dan menjamin pasokan. Harga energi terbarukan juga lebih mahal dibanding energi fosil.
Sementara itu, negara-negara industri lainnya memilih melihat dulu implementasi kebijakan energi Jerman ini. Meninggalkan nuklir, mendorong penggunaan energi terbarukan, sembari mengurangi emisi GRK secara bersamaan bukan sesuatu yang mudah, terutama bagi negara-negara industri. Karena itu, jika kebijakan ini berhasil dilaksanakan di Jerman, langkah serupa dipastikan akan diterapkan pula di negara industri lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar